KDM "Managemen Nyeri"
MANAJEMEN NYERI
Oleh : Sakiyan, Ns.,M.Kep.,CWCS
A. Nyeri
1. Pengantar
Nyeri merupakan keluhan yang paling umum
dan sering ditemukan pada pasien yang datang ke pelayanan kesehatan, nyeri
sangat penting sebagai mekanisme proteksi tubuh yang timbul bilamana jaringan
sedang rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsangan
nyeri. Perawat sebagai bagian dari provider
kesehatan harus mampu mengenali dan memberikan intervensi yang tepat sesuai
dengan kebutuhan pasien.
2. Pengertian
Mendefinisikan
nyeri secara tepat merupakan hal yang sulit mengingat nyeri merupakan keluhan
yang subjektif, hanya penderita yang mampu mendefinisikan nyeri yang dialami,
dan kemungkinan akan sangat berbeda dengan
nyeri yang dialami oleh penderita yang lain walaupun merupakan hal yang
sangat mungkin nyeri itu di sebabkan oleh stimulus yang sama. Rasa nyeri selalu merupakan sesuatu
yang bersifat subjektif, setiap
individu mempelajari nyeri melalui pengalaman yang berhubungan langsung dengan
luka (injury), yang terjadi pada masa awal kehidupannya.
Ada beberapa definisi yang
bisa menggambarkan nyeri sebagai berikut :
a.
Menurut
Corwin (1999) Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman
biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial
b.
Taylor
(2001) nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan
jaringan yang menekan pada reseptor nyeri.
c.
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri
seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan
substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk).
d.
Pada tahun 1979, International Association for the
Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai : Suatu pengalaman sensori dan emosi
yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata
atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan.
e.
Secara klinis, nyeri adalah apapun yang diungkapkan
oleh pasien mengonai sesuatu yang dirasakannya sebagai suatu hal yang tidak
menyenangkan / sangat mengganggu (Dharmady & Triyanto).
f.
Defenisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri sebagai apapun yang menyakitkan
tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakannya.
g.
Beberapa pasien tidak dapat atau tidak akan melaporkan
secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Oleh karena itu, perawat juga
bertanggung jawab terhadap pengamatan perilaku nonverbal yang dapat terjadi
bersama dengan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
3. Berdasarkan Mekanisme Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis
:
a.
Nyeri
fisiologis
Terjadi karena stimulus singkat yang tidak merusak
jaringan, misalnya cubitan ringan, pukulan ringan akan menyebabkan munculnya
rasa nyeri yang ringan.
b.
Nyeri
inflamasi
Terjadi karena stimulus yang kuat sehingga merusak
jaringan, kemudian jaringan akan mengalami inflamasi/ peradangan, dan direspon
dengan mengeluarkan mediator inflamasi oleh tubuh seperti bradikinin,
leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktifasi nosiseptor
secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi perubahan komponen
nosiseptik, mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptik, aktifasi nosiseptik
akan menyebabkan nyeri sedangkan sensitisasi akan menyebabkan hiperalgesia.
c.
Nyeri
neuropatik
Merupakan
nyeri yang di dahului dan disebabkan adanya disfungsi primer atau lesi
pada sistem saraf yang diakibatkan oleh trauma, kompresi, keracunan atau
gangguan metabolik. Akibat adanya lesi maka terjadi perubahan pada serabut
saraf aferent (SSA) yang berfungsi sebagai neuron sensorik perifer yang
kemudian bisa menyebabkan gangguan fungsi sentral.
4. Berdasarkan munculnya nyeri
IASP (The international Association for
the Study of Pain) membedakan nyeri menjadi nyeri akut dan nyeri kronis :
a. Nyeri akut
Nyeri yang berlangsung sementara, kemudian
mereda bila terjadi penuruan intensitas stimulus pada nosiseptor pada beberapa
hari sampai beberapa minggu.
Menurut
Long C.B (1996) nyeri akut,
nyeri yang berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan mendadak dari sebab
yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut
ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi
nyeri.
b. Nyeri kronis
Nyeri yang berhubungan dengan kondisi
patologis, berlangsung dalam waktu yang
lama, biasanya merupakan suatu proses penyakit, berlangsung terus – menerus
atau menetap setelah penyembuhan penyakit atau trauma, biasanya tidak
terlokalisir secara jelas. Nyeri kronis, nyeri yang
berlangsung enam bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa
ditentukan lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri
menetap (Long, 1996).
5. Berdasarkan klasifikasi nyeri wajah
Nyeri pada wajah atau rongga mulut
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Nyeri somatik
Nyeri yang disebabkan karena stimulasi reseptor
neural atau saraf-saraf perifer.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang dihasilkan dalam sistem saraf sendiri,
reseptor saraf maupun stimulasi serabut saraf
c. Nyeri psikogenik
Nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri
somatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik,
karakteristiknya lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu
penyebab yang mungkin, tanda klinis atau respon pengobatan.
Corwin J.E (1997) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi
:
a.
Nyeri kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit
atau jaringan subkutis, misalnya nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet,
lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.
b.
Nyeri somatik adalah nyeri dalam yang berasal
dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf
dalam, sifat nyeri lambat.
c.
Nyeri Viseral, adalah nyeri dirongga abdomen
atau torak terlokalisasi jelas disuatu titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian
tubuh lain dan biasanya parah.
d.
Nyeri Psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari
pikiran pasien tanpa diketahui adanya temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229).
e.
Nyeri Phantom limb pain, adalah nyeri yang
dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang telah diamputasi
(Long, 1996 ; 229).
6. Fisiologi Nyeri
Ganong,
(1998), mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang disalurkan ke
susunan syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem serat (serabut) antara lain:
a.
Serabut A – delta (Aδ), bermielin dengan garis tengah 2 – 8 µm yang menghantar dengan kecepatan 12 – 48 m/detik yang disebut juga nyeri cepat
(test pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari satu detik, serta memiliki
lokalisasi yang dijelas dirasakan seperti ditusuk, tajam berada dekat permukaan
kulit.
b.
Serabut C, merupakan serabut yang tidak
bermielin dengan garis tengah 0,4 –1,2
µm dengan kecepatan hantaran 0,7-1,5 m/detik
disebut juga nyeri lambat di rasakan selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat
nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar.
B. Fisiologi
Nyeri
Stimulus yang berpotensi/ menyebabkan kerusakan jaringan
hingga menumbuhkan pengalaman
subyektif mengenai nyeri. Proses
nyeri terjadi dengan rangkaian
peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi,
modulasi dan persepsi.
Transduksi adalah proses dimana
stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik
(reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu
saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian
jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari
medulla spinalis ke batang otak dan thalamus, yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex.
Proses ketiga adalah modulasi yaitu
aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu
telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat
transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat
analgetika seperti morfin. Proses
terakhir adalah persepsi, Proses
impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari
nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak yang menimbulkan persepsi
tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara mendasar
merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk
memahaminya.
Nyeri
diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia
(substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi
saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke
otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls
elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada
spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke
thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri,
dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di
mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai
sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat
kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah yang terluka.
Di
dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang
terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup, mekanisme ini dikenal sebagai teori Gate
Control (Melzack). Stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara
perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga rnencegah
transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya
perasaan sernbuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan
(Patricia & Walker).
Kozier,
dkk. (1995) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek
pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis
respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi
pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri
dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah,
kelemahan, kelelahan, dan pucat (Black M.J, et.al)
Pada
nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang mempengaruhi
manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam
dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeri dari
reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan
adrenal dengan mekanisme medula adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang
tidak penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan
dan mekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi emergency untuk mempercepat
penyembuhan (Long C.B.).
Apabila
mekanisme ini tidak berhasil mengatasi Stressor (nyeri) dapat menimbulkan
respon stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat
penyembuhan dan kalau makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang
meladaptif (Corwin, J.E.).
C. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Saat
seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang
dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat
meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri
dan mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi
fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan
sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri
yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada
intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai
faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional,
pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan
pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri,
sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat
menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi
nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas
dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan,
alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone &
Burke).
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
1.
Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih
berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu
tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri
tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri;
akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi
lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima
peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman
nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva
tidak adekuat (Smeltzer & Bare).
Beberapa
pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari seberapa
hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang sering mengalami
nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih
hebat (Taylor & Le Mone).
2.
Kecemasan
Toleransi
nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara
individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan
kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas
peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Umumnya
diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya
benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau berhubungan
dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri (Smeltzer &
Bare).
Ditinjau
dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien
menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter
yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah
yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke).
Serotonin
merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus
dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak. Serotonin
menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi enkefalin.
Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,dpresinaptik dan
postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini
dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis (Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare,).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare,).
3.
Umur
Umumnya
lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat
diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya
kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan
pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan
mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang
nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa
tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat
mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke).
Menurut
Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan
cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai
metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih
besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis
kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri pada
lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan
dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi pada individu lansia
yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer & Bare).
Diperkirakan
lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis
yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama sebelum
melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka
menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Sebagian lansia lainnya
tidak mencari perawatan kesehatan karena mereka takut nyeri tersebut menandakan
penyakit yang serius. Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus
didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia
(Smeltzer & Bare).
4.
Jenis Kelamin
Menurut
Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah dikodratkan
Tuhan, olch sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki dan
perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial
kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan
merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat
gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna
pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara
sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari).
Karakteristik
jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan
memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat
hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit
yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat
dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis
kelarnin (Noor).
Anak-anak
yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan cepat untuk
mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan
pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin belajar bahwa terdapat
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyeri. Anak
perempuan boleh pulang ke rumah sambil menangis ketika lututnya terluka,
sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki
dan perempuan dewasa mungkin berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan
dengan komunikasi nyeri (Taylor & Le Mone).
Dalam
banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya yang
menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga lain
seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki merupakan
figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam keluarga
Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering menjadi figur
yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan
tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai bahan pertimbangan
untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan yang sakit maka
kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan bingung. Jika anggota
keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta pertolongan secara verbal
(Taylor & Le Mone).
Pada
tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan
mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak menemukan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya,
pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka
mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid
lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).
5.
Sosial Budaya
Karena
norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai keseharian
kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri.
Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh
budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut
Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada cara
seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang
berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak
mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare). Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan
memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya
membantu kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada
harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya
akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif
dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).
6.
Nilai Agama
Pada
beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara untuk
membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan
menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin
menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi
persembahan mereka (Taylor & Le Mane).
7.
Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan
dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak
orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya,
kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah
nyeri yang dirasakan. Pada beberapa
pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa mengurangi rasa nyeri
mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri.
Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk rnemperoleh perhatian khusus dan
pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone).
D. Prinsip
Pengelolaan Nyeri
1.
Farmakologis
Penggunaan agen-agen analgetik (antirasa sakit)
2.
Non
Farmakologis
Intervensi nonfarmakologis yang
dapat membantu dalam menghilangkan nyeri kelebihan metode pereda nyeri nonfarmakologis adalah resiko yang sangat rendah. Berikut ini beberapa metode
nonfarmakologis untuk penanganan nyeri :
a.
Stimulasi dan Masase Kutanus.
Prinsip dasarnya adalah implementasi terori
gate control, tujuan adalah menstimulasi
serabut-serabut yang
menstransmisikan sensasi tidak nyeri sehingga memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa
strategi penghilang misalanya menggosok
kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini. Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh
secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara
spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat
mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat pasien
lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
b.
Terapi Es dan Panas.
Terapi
es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada
beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya
memerlukan studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-noniseptor) dalam reseptor yang sama
seperti pada cedera.Terapi es dapat memnurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain [ada tempat cedera dengan
menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat
cedera segera setelah cedera terjadi. Cohn dkk. (1989) menunjukkan bahwa saat
es diletakkan disekitar lutut segara setelah pembedahan dan selama 4 hari pasca
operasi, kebutuhan anlgesik menurun sekitar 50%.
c.
Penggunaan panas
Penggunaan panas mempunyai
keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas
tampak tidak seefektif penggunaan es (Nam & Park, 1991). Baik terapi panas
kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi penelitian tambahan
diperlukan untuk memehami mekanisme kerjanya dan indikasi penggunaannya yang
sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan
dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
d.
Stimulasi Saraf Elektris Transkutan
Stimulasi
saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan
elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan ,
menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri
akaut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi
reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut
yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori nyeri gate
control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak
pada jaras asendens saraf pusat. Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan
stimulasi kutan saat digunakan pada araea yang asama seperti pada cedera.
Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca operatif elektroda
diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan TENS adalah
efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorphin,
yamhjuga memblok transmisi nyeri.
e.
Distraksi.
Distraksi,
yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi stategi yang
sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif
lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990). Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri
atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri
dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi
sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien
untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara
umum meningkat dalam hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu,
banyaknya modalitas sensori yang dipakai dan minat individu dalam stimuli.
Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif
dalam menurunkan nyeri disbanding stimuli satu indera saja.
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan aktivitas fisik an mental yang sangat kompleks.
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan aktivitas fisik an mental yang sangat kompleks.
Kunjungan
dari keluarga dan teman-teman
sangat efektif dalam meredakan nyeri. Melihat film layar lebar dengan ”surround sound” melalui headphone dapat efektif
(berikan yang dapat diterima oleh pasien). Orang lainnya mungkin akan mendapat
peredaan permainan dan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua
pasien mencapai peredaan melalui distraksi, terutama mereka yang dalam nyeri
hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta
dalam aktivitas fisik atau mental yang kompleks.
f.
Teknik Relaksasi.
Relaksasi
otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan
otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi
efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk.
1992). Beberapa penelitian, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa relaksasi
ecektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller &
Perry, 1990). Ini mungkin karena relatif kecilnya otot-otot skeletal dalam
nyeri pasca operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi
tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipraktekkan jika hanya
diajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah mengetahui tentang
teknik relaksasi mungkin hanya diingatkan untuk menggunakan teknik tersebut
untuk menurunkan atau mencegah menigkatnya nyeri
Teknik
relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat diprtahankan dengan menghitung dalam hati dan
lambat bersama setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi (hembusakan, dua, tiga ). Pada saat perawat
mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras
bersama pasien oada awalanya. Napas yang lambat, berirama juga dapat digunakan
sebagai teknik distraksi. Teknik relaksasi, juga tindakan pereda nyeri
noninvasif lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil
menggunkannya. Hampir semua orang
dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode-metode relaksasi. Periode
relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegagan
otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
g.
Imajinasi Terbimbing.
Imajinasi
terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Sebagai contoh,
imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas
menggabungkan suatu napas berirama lambat denfgan suatu bayangan mental
relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk
membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi secara lambat ketegangan otot
dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setip
kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke
bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan
untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan
ketegangan. Jika imajinasi terpadu
diharapkan agar efektif, dibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan
tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta
untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali
sehari. Bebrapa hari praktik mungkin dierlukan sebelum intensitas nyeri
dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing
saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam
berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa
imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi
terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang
telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini
efektif.
h.
Hipnosis.
Hipnosis
efektif dalam meredakan nyeri
atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Tahap hypnosis sebagai terapi terdiri dari tahap pra
induksi, induksi, deepening, sugesti terapi dan alerting/ awakening. Banyak
penelitian telah membuktikan bahwa hypnosis efektif digunakan sebagai terapi
untuk mengurangi nyeri, keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan
hipnotik individu. Pada beberapa kasus hipnosis dapat efekatif pada pengobatan
pertama; keefektifannya meningkat dengan tambahan sesi hypnoterapi berikutnya. (Lewis,1992). Hypnosis sebagai terapi untuk nyeri harus dilakukan oleh orang
yang terlatih secara khusus.
Sumber:
1.
Black, M.J, Ester M & Jacobs. (1997). Medikal
Surgical Nursing; Clinical Management For Continvity
of Care. WB Saunder Company. Tokyo
2.
Corwin, E.J. (1997). Buku Saku Patofisiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3.
ERB, Kozier, Blais & Wilkinson (1995) Fundamental
Of Nursing ; Consepts, Process, And Practice II, Addison Wesley Publishing
Company.
4.
Gabriel, F.J. (199 Fisika
Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
5.
Howe, L.G & F.I.H Whitehead. (1992). Lokal
Anaesthesia In Dentistry. Alih Bahasa Lilian Yuwono. Penerbit Hipokrates.
Jakarta
6.
Junaidi, P (Et.Al). 1997. Kapita Selekta Kedokteran.
Penerbit Media Aesculapius FKUI. Jakarta
7.
Lee, M.Jenifer (1990). Segi Praktis Fisioterapi. Binarupa
Aksara. Jakarta
8.
Long, C.B. (1996). Medikal Surgical Nursing. Alih
Bahasa Oleh Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. Bandung
9.
Taylor, C, Carol L & Pricilla.L. (1997).
Fundamental Of Nursing ; The Art and Science of Nursing. Lippicott Philadelphia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar