Rabu, 18 Januari 2017

MANAGEMEN NYERI

KDM "Managemen Nyeri"



MANAJEMEN NYERI
Oleh : Sakiyan, Ns.,M.Kep.,CWCS
A.      Nyeri
1.    Pengantar
Nyeri merupakan keluhan yang paling umum dan sering ditemukan pada pasien yang datang ke pelayanan kesehatan, nyeri sangat penting sebagai mekanisme proteksi tubuh yang timbul bilamana jaringan sedang rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri. Perawat sebagai bagian dari provider kesehatan harus mampu mengenali dan memberikan intervensi yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.
2.    Pengertian
Mendefinisikan nyeri secara tepat merupakan hal yang sulit mengingat nyeri merupakan keluhan yang subjektif, hanya penderita yang mampu mendefinisikan nyeri yang dialami, dan kemungkinan akan sangat berbeda dengan  nyeri yang dialami oleh penderita yang lain walaupun merupakan hal yang sangat mungkin nyeri itu di sebabkan oleh stimulus yang sama.  Rasa nyeri selalu merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, setiap individu mempelajari nyeri melalui pengalaman yang berhubungan langsung dengan luka (injury), yang terjadi pada masa awal kehidupannya.  
Ada beberapa definisi yang bisa menggambarkan nyeri sebagai berikut :
a.         Menurut Corwin (1999) Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial
b.         Taylor (2001) nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri.
c.         Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk).
d.        Pada tahun 1979, International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai : Suatu pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan.
e.         Secara klinis, nyeri adalah apapun yang diungkapkan oleh pasien mengonai sesuatu yang dirasakannya sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan / sangat mengganggu (Dharmady & Triyanto).
f.          Defenisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri sebagai apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya.
g.         Beberapa pasien tidak dapat atau tidak akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Oleh karena itu, perawat juga bertanggung jawab terhadap pengamatan perilaku nonverbal yang dapat terjadi bersama dengan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
3.    Berdasarkan Mekanisme Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis :
a.         Nyeri fisiologis
Terjadi karena stimulus singkat yang tidak merusak jaringan, misalnya cubitan ringan, pukulan ringan akan menyebabkan munculnya rasa nyeri yang ringan.
b.         Nyeri inflamasi
Terjadi karena stimulus yang kuat sehingga merusak jaringan, kemudian jaringan akan mengalami inflamasi/ peradangan, dan direspon dengan mengeluarkan mediator inflamasi oleh tubuh seperti bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktifasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi perubahan komponen nosiseptik, mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptik, aktifasi nosiseptik akan menyebabkan nyeri sedangkan sensitisasi akan menyebabkan hiperalgesia.
c.         Nyeri neuropatik
Merupakan  nyeri yang di dahului dan disebabkan adanya disfungsi primer atau lesi pada sistem saraf yang diakibatkan oleh trauma, kompresi, keracunan atau gangguan metabolik. Akibat adanya lesi maka terjadi perubahan pada serabut saraf aferent (SSA) yang berfungsi sebagai neuron sensorik perifer yang kemudian bisa menyebabkan gangguan fungsi sentral.
4.    Berdasarkan munculnya nyeri
IASP (The international Association for the Study of Pain) membedakan nyeri menjadi nyeri akut dan nyeri kronis :
a.    Nyeri akut
Nyeri yang berlangsung sementara, kemudian mereda bila terjadi penuruan intensitas stimulus pada nosiseptor pada beberapa hari sampai beberapa minggu.
Menurut Long C.B (1996) nyeri akut, nyeri yang berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi nyeri.
b.    Nyeri kronis
Nyeri yang berhubungan dengan kondisi patologis, berlangsung dalam  waktu yang lama, biasanya merupakan suatu proses penyakit, berlangsung terus – menerus atau menetap setelah penyembuhan penyakit atau trauma, biasanya tidak terlokalisir secara jelas. Nyeri kronis, nyeri yang berlangsung enam bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditentukan lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap (Long, 1996).
5.    Berdasarkan klasifikasi nyeri wajah
Nyeri pada wajah atau rongga mulut diklasifikasikan sebagai berikut:
a.    Nyeri somatik
Nyeri yang disebabkan karena stimulasi reseptor neural atau saraf-saraf perifer.
b.    Nyeri neurogenik
Nyeri yang dihasilkan dalam sistem saraf sendiri, reseptor saraf maupun stimulasi serabut saraf
c.    Nyeri psikogenik
Nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri somatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik, karakteristiknya lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab yang mungkin, tanda klinis atau respon pengobatan.
Corwin J.E (1997) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi :
a.         Nyeri kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet, lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.
b.         Nyeri somatik adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf dalam, sifat nyeri lambat.
c.         Nyeri Viseral, adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi jelas disuatu titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan biasanya parah.
d.        Nyeri Psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa diketahui adanya temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229).
e.         Nyeri Phantom limb pain, adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang telah diamputasi (Long, 1996 ; 229).
6.    Fisiologi Nyeri
Ganong, (1998), mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang disalurkan ke susunan syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem serat (serabut) antara lain:
a.         Serabut A – delta (Aδ), bermielin dengan garis tengah 2 – 8 µm yang menghantar dengan kecepatan 12 – 48 m/detik yang disebut juga nyeri cepat (test pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari satu detik, serta memiliki lokalisasi yang dijelas dirasakan seperti ditusuk, tajam berada dekat permukaan kulit.
b.         Serabut C, merupakan serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4 –1,2 µm dengan kecepatan hantaran 0,7-1,5 m/detik disebut juga nyeri lambat di rasakan selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar.
Transmisi nyeri dibawah oleh serabut A – delta maupun serabut C diteruskan ke korda spinalis, serabut – serabut syaraf aferen masuk kedalam spinal lewat dorsal “root” dan sinap dorsal “ horn” yang terdiri dari lapisan (laminae) yang saling berkaitan II dan III membentuk daerah substansia gelatinosa (SG). Substansi P sebagai nurotransmitter utama dari impuls nyeri dilepas oleh sinaps dari substansia gelatinosa. Impuls – impuls nyeri menyebrang sum – sum tulang belakang diteruskan ke jalur spinalis asendens yang utama adalah spinothalamic tract (STT) atau spinothalamus dan spinoroticuler tract (SRT) yang menunjukkan sistem diskriminatif dan membawa informasi mengenai sital dan lokasi dari stimulus ke talamus kemudian kemudian diteruskan ke korteks untuk diinterprestasikan, sedangkan impuls yangg melewati SRT, diteruskan ke batang otak mengaktifkan respon outonomik dari limbik (motivational affektive) effective yang dimotivasi (Long)


B.       Fisiologi Nyeri
Stimulus yang berpotensi/ menyebabkan kerusakan jaringan hingga menumbuhkan pengalaman subyektif mengenai nyeri. Proses nyeri terjadi dengan rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan persepsi.  
Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus, yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin. Proses terakhir adalah persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk memahaminya.
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah yang terluka.
Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup, mekanisme ini dikenal sebagai teori Gate Control (Melzack). Stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya perasaan sernbuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia & Walker).
Kozier, dkk. (1995) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat (Black M.J, et.al)
Pada nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang mempengaruhi manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan mekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi emergency untuk mempercepat penyembuhan (Long C.B.).
Apabila mekanisme ini tidak berhasil mengatasi Stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan kalau makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang meladaptif (Corwin, J.E.).
C.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
1.         Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare).
Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).
2.         Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri (Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke).
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,dpresinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis (Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare,).
3.         Umur
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke).
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer & Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).
4.         Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah dikodratkan Tuhan, olch sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri (Taylor & Le Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).
5.      Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare). Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).
6.      Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).
7.      Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan. Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone).
D.      Prinsip Pengelolaan Nyeri
1.         Farmakologis
Penggunaan agen-agen analgetik (antirasa sakit)
2.         Non Farmakologis
Intervensi nonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri kelebihan metode pereda nyeri nonfarmakologis adalah resiko yang sangat rendah. Berikut ini beberapa metode nonfarmakologis untuk penanganan nyeri :
a.         Stimulasi dan Masase Kutanus.
Prinsip dasarnya adalah implementasi terori gate control, tujuan adalah menstimulasi serabut-serabut yang menstransmisikan sensasi tidak nyeri sehingga memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilang misalanya menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini. Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
b.        Terapi Es dan Panas.
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-noniseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.Terapi es dapat memnurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi. Cohn dkk. (1989) menunjukkan bahwa saat es diletakkan disekitar lutut segara setelah pembedahan dan selama 4 hari pasca operasi, kebutuhan anlgesik menurun sekitar 50%.
c.         Penggunaan panas
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak seefektif penggunaan es (Nam & Park, 1991). Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi penelitian tambahan diperlukan untuk memehami mekanisme kerjanya dan indikasi penggunaannya yang sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
d.        Stimulasi Saraf Elektris Transkutan
Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan , menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri akaut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asendens saraf pusat. Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan pada araea yang asama seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca operatif elektroda diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan TENS adalah efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorphin, yamhjuga memblok transmisi nyeri.
e.         Distraksi.
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990). Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat dalam hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang dipakai dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri disbanding stimuli satu indera saja.
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan aktivitas fisik an mental yang sangat kompleks.
Kunjungan dari keluarga dan teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Melihat film layar lebar dengan ”surround sound” melalui headphone dapat efektif (berikan yang dapat diterima oleh pasien). Orang lainnya mungkin akan mendapat peredaan permainan dan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien mencapai peredaan melalui distraksi, terutama mereka yang dalam nyeri hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas fisik atau mental yang kompleks.
f.         Teknik Relaksasi.
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa relaksasi ecektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990). Ini mungkin karena relatif kecilnya otot-otot skeletal dalam nyeri pasca operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipraktekkan jika hanya diajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah mengetahui tentang teknik relaksasi mungkin hanya diingatkan untuk menggunakan teknik tersebut untuk menurunkan atau mencegah menigkatnya nyeri
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat diprtahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi (hembusakan, dua, tiga ). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien oada awalanya. Napas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi. Teknik relaksasi, juga tindakan pereda nyeri noninvasif lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunkannya. Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode-metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
g.        Imajinasi Terbimbing.
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan suatu napas berirama lambat denfgan suatu bayangan mental relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setip kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan. Jika imajinasi terpadu diharapkan agar efektif, dibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Bebrapa hari praktik mungkin dierlukan sebelum intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini efektif.
h.        Hipnosis.
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Tahap hypnosis  sebagai terapi terdiri dari tahap pra induksi, induksi, deepening, sugesti terapi dan alerting/ awakening. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa hypnosis efektif digunakan sebagai terapi untuk mengurangi nyeri, keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik individu. Pada beberapa kasus hipnosis dapat efekatif pada pengobatan pertama; keefektifannya meningkat dengan tambahan sesi hypnoterapi berikutnya. (Lewis,1992). Hypnosis sebagai terapi untuk nyeri harus dilakukan oleh orang yang terlatih secara khusus.
Sumber:
1.        Black, M.J, Ester M & Jacobs. (1997). Medikal Surgical Nursing; Clinical Management For Continvity of Care. WB Saunder Company. Tokyo
2.        Corwin, E.J. (1997). Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3.        ERB, Kozier, Blais & Wilkinson (1995) Fundamental Of Nursing ; Consepts, Process, And Practice II, Addison Wesley Publishing Company.
4.        Gabriel, F.J. (199 Description: 8)Fisika Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
5.        Howe, L.G & F.I.H Whitehead. (1992). Lokal Anaesthesia In Dentistry. Alih Bahasa Lilian Yuwono. Penerbit Hipokrates. Jakarta
6.        Junaidi, P (Et.Al). 1997. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Jakarta
7.        Lee, M.Jenifer (1990). Segi Praktis Fisioterapi. Binarupa Aksara. Jakarta
8.        Long, C.B. (1996). Medikal Surgical Nursing. Alih Bahasa Oleh Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. Bandung
9.        Taylor, C, Carol L & Pricilla.L. (1997). Fundamental Of Nursing ; The Art and Science of Nursing. Lippicott Philadelphia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar